Halaman

Kamis, 14 Juni 2012

Keutamaan Mendoakan Kebaikan untuk Sesama Muslim tanpa Sepengetahuannya


http://salam-online.com/site/wp-content/uploads/2012/06/Berdoa-di-Masjid-jpeg.image_.jpg

Salah satu tanda eratnya persaudaraan dengan sesama Muslim adalah mendoakan Muslim lainnya yang tidak berada di hadapannya, atau tanpa sepengetahuannya. Saat seorang Muslim mendoakan Muslim lainnya yang berada jauh dari tempatnya, tanpa sepengetahuannya, dengan doa-doa yang baik, niscaya doa itu akan dikabulkan Allah. Dan doa tersebut mencakup orang yang membacanya sendiri.
عَنْ أُمِّ الدَّرْدَاءِ قَالَتْ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ: ” دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ، عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لِأَخِيهِ بِخَيْرٍ، قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ: آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ “
Dari Ummu Darda’ dan Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Doa seorang Muslim untuk saudaranya (Muslim lainnya) yang tidak berada di hadapannya akan dikabulkan oleh Allah. Di atas kepala orang Muslim yang berdoa tersebut terdapat seorang malaikat yang ditugasi menjaganya. Setiap kali Muslim itu mendoakan kebaikan bagi saudaranya, niscaya malaikat yang menjaganya berkata, ‘Amin (semoga Allah mengabulkan) dan bagimu hal yang serupa’,” (HR. Muslim No. 2733, Abu Dawud No. 1534, Ibnu Majah No.  2895 dan Ahmad No. 21708)
Hadits ini merupakan sebuah modal berharga bagi kita untuk banyak mendoakan kebaikan bagi saudara-saudara Muslim lainnya. Selain mendapatkan pahala mendoakan mereka, kita juga akan mendapatkan kebaikan dari doa yang kita panjatkan tersebut. Mendoakan kebaikan untuk sesama Muslim sama halnya dengan mendoakan kebaikan untuk diri kita sendiri, sebagaimana dijelaskan di akhir hadits di atas. Malaikat mengamini doa kita dan Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam menjamin bahwa Allah Ta’ala akan mengabulkannya.


Saudaraku, Kembalilah Ke Jalan Kebaikan …


Saudaraku ..

Tulisan ini kutujukan kepadamu, ya .. kepadamu yang mengharapkan Ridho Allah dan kenikmatan yang kekal di sisiNya, serta takut kepada siksa dan azab yang Allah Ta’ala siapkan untuk orang-orang yang bermaksiat dan kafir.

Kepadamu saudaraku, yang pernah merasakan manisnya keimanan dan nikmatnya berjalan diatas jalan yang lurus serta indahnya mendekatkan diri kepada Allah.

Kepadamu saudaraku, yang dulu bersemangat dan berpacu menuntut ilmu serta mengajak kepada kebaikan.

Kepadamu saudaraku yang dulu sering kulihat berzikir, membaca dan menghapalkan Al Qur’an.

Apa yang terjadi pada dirimu? Kenapa engkau kini mulai menjauh dari teman-temanmu yang rajin sholat berjama’ah, cinta kepada ilmu agama, gemar mempelajari Al Qur’an dan Hadits serta membaca buku-buku yang bermanfaat?

Kenapa aku melihat semangatmu memudar, penampilanmu juga berobah ..tidak lagi seperti dulu yang berusaha mengikuti sunnah-sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam?

ingatkah engkau, ketika itu engkau berhenti dari tempatmu bekerja, kenapa?!

Ketika itu engkau mengatakan, karena tidak bisa sholat berjama’ah ke mesjid!

Karena engkau takut fitnah syahwat yang slalu menggoda!

Karena engkau ingin meninggalkan nyanyian dan menggantikannya dengan mendengarkan Al Qur’an!

Karena engkau ingin menjaga ‘iffah dirimu!

Karena engkau ingin menjaga Dinmu!!

Saudaraku .. kenapa aku lihat syahwat mulai mengalahkanmu, hasrat pun membelenggumu..wajahmu tidak pernah lagi kulihat di majelis-majelis ilmu!

Apakah engkau telah menyimpulkan bahwa iltizam dan keistiqomahanmu serta keta’atanmu kepada Robbmu selama ini sebuah kesalahan, lalu engkau memilih jalan lain; jalan yang menyimpang, maksiat dan kelalaian – agar engkau bisa sampai ke surga Firdaus?!

Ataukah engkau mengira jalan yang telah engkau tempuh selama ini terasa terlalu panjang dan berat, lalu engkau tidak sabar dan memilih jalan orang-orang lalai dan lengah yang diperbudak hawa nafsu mereka, yang keinginan mereka hanyalah sebatas diri mereka sendiri, tidak peduli kepada Dinullah dan Dakwah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama.

Ataukah engkau telah melupakan kematian dan sakarat-nya …

Melupakan kuburan dan kegelapannya …

Hari kiamat dan kedahsyatannya …

Neraka dan keras azabnya …

Semoga Allah melindungimu dari itu semua

Dan semoga Allah tidak menjadikanmu termasuk orang-orang yang dikatakanNya,

“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian Dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu Dia diikuti oleh syaitan (sampai Dia tergoda), Maka jadilah Dia Termasuk orang-orang yang sesat.” (Al A’rof : 175)

Kuharap dadamu lapang dan maafkan aku karena kerasnya kata-kataku kepadamu. Akan tetapi kecintaanku kepadamu yang kusimpan di dalam dadaku, dan kekhawatiran su-ul khotimah atas dirimu .. hal itulah yang telah membakar hatiku. Setiap kali aku melihat kondisimu yang membuat gembira musuhmu (Syetan beserta pengikutnya) serta membuat sedih teman-teman dan orang-orang yang mencintaimu.

 Saudaraku, akankah engkau kembali sebelum kematian mendatangi?. Kapankah engkau kembali kepada taman keta’atan dan telaga taubat serta istiqomah yang penuh rahmah dan berkah dari Allah??

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui”.(Ali Imron : 135)

Tumbuhkanlah harapanmu, bangunlah asamu, sesungguhnya engkau memiliki Robb yang maha luas ampunanNya, membentangkan TanganNya siang dan malam untuk mengampuni orang-orang yang berdosa.

Mohonlah hidayah kepada Allah Ta’ala dengan tulus dari hatimu. Lihatlah Nabimu yang engkau cintai shollallahu ‘alaihi wa sallama meminta hidayah kepada Robbnya, beliau berdo’a, 

“Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepadaMu petunjuk, ketakwaan, kesucian dan kekayaan”. (HR. Muslim, At-Tirmidzi dan Al Baihaqy dari Ibnu Mas’ud, dan sanadnya shohih, lihat, Shohih Al Jami’ no. 1275)

Beliau shollallahu ‘alaihi wa sallama mengajarkan itu sebagaimana beliau mengajarkan cucunya Al Hasan bin Ali rodhiyallahu ‘anhuma agar di dalam qunut mengucapkan,

“Ya Allah berilah aku petunjuk sebagaimana orang-orang yang engkau tunjuki”. (HR. Abu Dawud, An Nasa-I dan lain-lainnya, dari Abul Hawro’, dan sanadnya shohih, lihat : Misykatul Mashobiih no. 1273)

Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallama juga berlindung kepada Allah dari kesesatan setelah petunjuk,

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan kemuliaanMu dari Engkau sesatkan, tidak ada Ilah yang diibadati dengan hak melainkan Engkau”. (Muttafaqun ‘alaihi dari Ibnu Abbas)

Dalam do’a safar beliau mengucapkan,

“Dan aku berlindung kepadaMu dari Al Haur setelah Al Kaur ”. (HR. Muslim)

Maksud Al Haur setelah Al Kaur yaitu; kerusakan setelah kebaikan, kesesatan setelah petunjuk.

Akuilah dosamu .. tangisilah kesalahan dan kelalaianmu. Mintalah kepada Allah, agar Ia tidak menghinakanmu di hari pembalasan, serta agar Ia memutihkan wajahmu ketika dihitamkan wajah-wajah pelaku maksiat dan orang-orang kafir.

Mulailah lembaran baru yang putih bersama Allah Ta’ala dengan keta’atan dan taubat nashuhah.

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al Kahfi : 28)

Palingkanlah wajahmu dari teman-teman yang tidak baik, dari orang-orang yang tidak peduli apakah engkau nanti di sorga atau di neraka. Bahkan lebih dari itu, kelak mereka di hari kiamat meminta kepada Allah Ta’ala supaya Allah menambahkan azab yang berlipat untuk teman-teman mereka.

“mereka berkata (lagi): “Ya Tuhan kami; barang siapa yang menjerumuskan Kami ke dalam azab ini Maka tambahkanlah azab kepadanya dengan berlipat ganda di dalam neraka”. (Shod : 61)

Bersihkan dari dirimu debu-debu dosa dan kelengahan. Bergabunglah dengan kafilah yang berjalan menuju Allah Ta’ala.

Kembalilah saudaraku ..kepada Allah Ta’ala, agar engkau kembali menjadi telaga kebaikan yang selalu mengalirkan manfaat untuk umatmu.

Saudaraku, berikut ini sebagian kiat dan asbab yang akan membantumu untuk tetap teguh dan istiqomah dengan izin Allah Ta’ala :

1.    Do’a yang tulus, berdo’alah, “Hai Yang Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas din-Mu”.

2.     Carilah teman yang baik dan sholeh, yang akan membantumu untuk ta’at kepada Allah.

3.     Jauhkan dirimu dari teman-teman yang tidak baik.

4.  Jagalah Kitabullah, dengan membaca, menghapal dan mempelajari makna-makna serta hukum-hukumnya, ketahuilah Al Qur’an adalah obat hati yang sakit.

5.      Jagalah ibadah-ibadah fardhu dan ibadah-ibadah nafilah yang mengiringinya.

6.      Menuntut ilmu sya’ri dan menghadiri majelis-majelis ilmu.

7.      Takut kepada dosa dan akibatnya, karena dosa adalah penyebab su-ul khotimah.

8.      Membaca buku-buku yang bermanfa’at, mengikuti daurah-daurah ilmiyah dan dakwiyah.

9.    Ghoddul Bashor (menahan pandangan dari penyebab maksiat), percayalah dengan ghoddul bashor hatimu akan lebih tenang dan terasa manisnya keimanan.

10.  Ingatlah permusuhan syetan terhadapmu dalam setiap detik. Dan bahwasanya ia senantiasa mengintai kelengahanmu serta menggunakannya untuk menyeretmu menjadi temannya di neraka kelak.

 

Terakhir saudaraku, kalimat-kalimat ini mungkin keras dan tajam, akan tetapi ia memancar dari cinta yang tulus, hatiku lebih dahulu mengatakannya sebelum penaku menorehkannya, karena kasihan kepadamu saudaraku tercinta. Tidak ada yang kuinginkan melainkan kebaikan untukmu. Semoga Allah Ta’ala melimpahkan rahmatNya untuk kita …

Dan sampai bertemu di atas jalan kebaikan dengan izin Allah Ta’ala, semoga Allah menjagamu saudaraku.


(disampaikan oleh Abu Zubair Hawaary)
http://kebunhidayah.wordpress.com/2010/09/23/saudaraku-kembalilah-ke-jalan-kebaikan/

Selasa, 05 Juni 2012

Berlomba-lomba dalam Kebaikan


Dikisahkan, bahwa orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin (sebagian kecil dari Anshar) merasa tidak bisa memperbanyak amal kebaikan, karena mereka tidak memiliki harta untuk diinfakkan. Padahal mereka selalu mendengar berbagai ayat dan hadits yang mendorong untuk berinfak, memuji orang-orang yang berinfak dan menjanjikannya surga yang luanya seluas langit dan bumi.

Di satu sisi, mereka melihat saudara-saudara mereka yang kaya berlomba-lomba untuk berinfak. Ada yang menginfakkan seluruh hartanya dan ada yang menginfakkan separuhnya. Ada yang memberikan beribu-ribu dinar dan ada juga yang membawa tumpukan hartanya kepada Rasulullah lalu beliau mendoakannya, memintakan ampunan dan keridlaan dari Allah untuk mereka.

Fenomena tersebut menggugah jiwa para sahabat yang miskin. Mereka berharap bisa mendapatkan kelebihan dan keutamaan sebagaimana yang diperoleh saudara-saudara mereka. Bukan karena dengki dengan kekayaan yang dimiliki saudaranya, dan bukan semata-mata menginginkan kekayaan. Tetapi didorong oleh rasa ingin berlomba-lomba dalam kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah.

Mereka lalu berkumpul dan datang menemui Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam. Dengan air mata berlinang, mereka mengadukan kondisi yang dialami lantaran tidak ada sesuatu yang bisa diinfakkan. Mereka berkata, “Ya Rasulullah, orang kaya telah mendapatkan pahala yang banyak, sedangkan kami tidak. Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami puasa. Tidak ada kelebihan sama sekali dalam hal ini. Akan tetapi, mereka lebih dari kami karena mereka bisa berinfak dengan kelebihan hartanya, sedangkan kami tidak memiliki apapun untuk kami infakkan untuk menyusul mereka. Padahal, kami benar-benar ingin bisa mencapai kedudukan mereka. Apa yang perlu kami perbuat?”

Kemudian Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam yang memahami keinginan mereka yang begitu kuat untuk mencapai derajat yang tertinggi di sisi Rabb-nya, dengan sangat bijak memberikan jawaban yang menenangkan. Yaitu dengan memberitahukan bahwa pintu kebaikan sangat luas. Ada beberapa amalan yang menyamai pahala orang yang berinfak, bahkan bisa melebihnya. Beliau bersabda,

أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ 

صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ 

وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرًا

Bukankah Allah telah menjadikan untuk kalian apa-apa yang bisa kalian sedekahkan?; Sesungguhnya setiap tasbih (subhanallah) adalah sedekah, setiap takbir (Allahu akbar) adalah sedekah, setiap tahmid (Alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahlil (Laa Ilaaha Illallah) adalah sedekah, menyeru kepada kebaikan adalah sedekah, mencegah dari yang munkar adalah sedekah, dan bersetubuh dengan istri juga sedekah.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah jika di antara kami menyalurkan hasrat biologisnya (kepada istrinya) juga mendapat pahala?” Beliau menjawab, “Bukankah jika ia menyalurkannya pada yang haram akan mendapat dosa? Maka demikian pula jika ia menyalurkannya pada tempat yang halal, ia akan mendapat pahala.” (HR. Muslim)
Ketika orang-orang kaya  dari sahabat Nabi mendengar keutamaan dzikir di atas lantas mereka ikut pula mengamalkannya. Karenanya, orang-orang fakir di atas datang kembali menemui Rasulullah untuk kedua kalinya. Mereka berkata, “Ya Rasulullah, teman-teman kami yang kaya mendengar nasihatmu. Lalu mereka melakukan seperti yang kami lakukan.” Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam menjawab,

ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ

Itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya . . “ (QS. Al-Maidah: 54)

Subhanallah, begitu luar biasa keadaan para sahabat Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, maka pantaslah jika Allah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya dan memberikan jaminan keridlaan dan kedudukan mulia di sisi-Nya. Mereka adalah orang sangat kuat semangatnya dan sangat besar keinginannya untuk beramal shalih dan mengerjakan kebaikan. Karenanya, jika ada kebaikan yang tidak bisa mereka kerjakan maka mereka bersedih. Terlebih bila saudara mereka yang lain mampu mengerjakannya. Sebagaimana kesedihan para fakir mereka yang tidak bisa bersedekah dengan harta dan tertinggal dari ikut jihad karena kemiskinan mereka.

وَلَا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لَا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا أَلَّا يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ

Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu", lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.” (QS. Al-Taubah: 92)
Sesungguhnya bersaing dan berlomba-lomba untuk mendapatkan kebaikan dan melakukan amal shalih adalah diperintahkan. Karena itu, hendaknya setiap muslim di zaman ini meniru para pendahulu mereka untuk selalu berlomba-lomba guna mendapatkan kebaikan dan untuk beramal shalih. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آَتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ

Tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (QS. Al-Maidah: 48)

Ayat serupa yang memerintahkan agar bersegera dan berlomba-lomba dalam kebaikan dan beramal shalih sangat banyak. Dan siapa, di dunianya, lebih dahulu dalam kebaikan maka di akhriatpun akan menjadi orang yang lebih dahulu masuk surga. Dan orang-orang yang lebih dahulu dalam amal ketaatan akan memiliki kedudukan yang lebih tinggi.

Pada ringkasnya bahwa dalam amal ketaatan, kebaikan dan ibadah harus saling berlomba untuk menjadi terbaik dan mendapatkan pahala terbesar. Tidak ada itsar (mendahulukan yang lain) dalam hal itu. Itsar hanya berlaku dalam urusan duniawi. Wallahu a’lam bil-shawab . .
Oleh: Badrul Tamam
http://www.voa-islam.com/islamia/tsaqofah/2010/06/15/7144/berlombalomba-dalam-kebaikan/

Jangan Menunda-nunda Beramal

Orang yang akan melakukan perjalanan jauh pasti akan menyiapkan perbekalan yang cukup. Lihatlah misalnya orang yang hendak menunaikan ibadah haji. Terkadang ia mengumpulkan harta dan perbekalan sekian tahun lamanya. Padahal itu berlangsung sebentar, hanya beberapa hari saja. Maka mengapa untuk suatu perjalanan yang tidak pernah ada akhirnya –yakni perjalanan akhirat- kita tidak berbekal diri dengan ketaatan ?! Padahal kita yakin bahwa kehidupan dunia hanyalah bagaikan tempat penyeberangan untuk sampai kehidupan yang kekal nan abadi yaitu kehidupan akhirat. Di mana manusia terbagi menjadi: ashabul jannah (penghuni surga) dan ashabul jahim (penghuni neraka).

Itulah hakikat perjalananmanusiaa di dunia ini. Maka sudah semestinya kita mengisi waktu dna sisa umur yang ada dengan berbekal amal kebaikan untuk menghadapi kehidupan yang panjang. Allah berfirman yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Al-Hasyr’: 18)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
“Hisablah diri kalian sebelum dihisab, perhatikanlah apa yang sudah kalian simpan dari amal shalih untuk hari kebangkitan serta (yang akan) dipaparkan kepada Rabb kalian.”
(Taisir Al-‘Aliyil Qadir, 4/339)

Umur Bukan Pemberian Cuma-Cuma
Waktu adalah sesuatu yang terpenting untuk diperhatikan. Jika ia berlalu tak akan kembali. Setiap hari dari waktu kta berlalu, berarti ajal semakin dekat. Umur merupakan nikmat yang seseorang akan ditanya tentangnya. Nabi bersabda yang artinya:

“Tidak akan bergeser kaki manusia di hari kiamat dari sisi Rabbnya sehingga ditanya tentang lima hal: tentang umurnya dalam apa ia gunakan, tentang masa mudanya dalam apa ia habiskan, tentang hartanya darimana ia peroleh dan dalam hal apa ia belanjakan, dan tentang apa yang ia amalkan dari yang ia ketahui (ilmu).”
(HR. At-Tirmidzi dari jalan Ibnu Mas’ud radliyallahu anha. Lihat Ash-Shahihah, no. 946)


Jangan Menunda-nunda Beramal
Mungkin kita sering mendengar orang mengatakan:
“Mumpung masih muda kita puas-puaskan berbuat maksiat, gampang kalau sudah tua kita sadar.”

Sungguh betapa kejinya ucapan ini. Apakah dia tahu kalau umurnya akan panjang ? Kalau seandainya dia ditakdirkan panjang, apa ada jaminan dia akan sadar ? Atau justru akan bertambah kesesatannya ?! Allah berfirman yang artinya:

“Dan tiada yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(QS. Luqman: 34)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya angan-angan adalah modal utama orang-orang yang bangkrut.”
(Ma’alim fi Thariqi ‘Ilmi hal. 32)

“Apabila engkau berada di waktu sore janganlah menunggu (menunda beramal) di waktu pagi. Dan jika berada di waktu pagi , janganlah menunda (beramal) di waktu sore. Gunakanlah masa sehatmu untuk masa sakitmu dan kesempatan hidupmu untuk saat kematianmu.”
(HR. Al-Bukhari no. 6416)

Selagi kesempatan masih diberikan, jangan menunda-nunda lagi. Akankah seseorang menunda hingga apabila ajal menjemput, betis bertaut dengan betis, sementara lisanpun telah kaku dan tubuh tidak bisa lagi digerakkan ? Dan ia pun menyesali umur yang telah dilalui tanpa bekal untuk suatu kehidupan yang panjang ?! Allah berfirman menjelaskan penyesalan orang-orang kafir ketika datang kematian.
“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seorang dari mereka, dia berkata: ‘Ya Rabbku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang shalih terhadap apa yang telah aku tinggalkan. ‘Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja.”
(QS. Al-Mu’minun: 99-100)

Umur Umat Ini
Allah telah menakdirkan bahwa umur umat ini tidak sepanjang umur umat terdahulu. Yang demikian mengandung hikmah yang terkadang tidak diketahui oleh hamba. Nabi bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah:
“Umur-umur umatku antara 60 hingga 70, dan sedikit dari mereka yang melebihi itu.”
(Dihasankan sanadnya oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari, 11/240)

Maksud dari hadits ini adalah bahwa keumuman ajal umat ini antara umur 60 hingga 70 tahun. Dengan bukti keadaan yang bisa disaksikan. Di mana di antara umat ini ada yang (mati) sebelum mencapai umur 60 tahun. Ini termasuk dari rahmat Allah dan kasih sayang-Nya supaya umat ini tidak terlibat dengan kehidupan dunia kecuali sebentar. Karena umur, badan, dan rizki umat-umat terdahulu lebih besar sekian kali lipat dibandingkan umat ini.

Dahulu ada yang diberi umur hingga seribu tahun, panjang tubuhnya mencapai lebih dari 80 hasta atau kurang. Satu biji gandum besarnya seperti pinggang sapi. Satu delima diangkat oleh sepuluh orang. Mereka mengambil dari kehidupan dunia sesuai dengan jasad dan umur mereka. Namun mereka sombong dan berpaling dari Allah. Sehingga manusia pun terus mengalami penurunan bentuk fisik, rizki, dan ajal.

maka manfaatkanlah sisa usia kita di jalan allah 'azza wa jalla dengan memberantas kesyirikan di bumi ini dengan mengorbankan jiwa dan harta kita,Sehingga umat ini menjadi umat yang terakhir. Yang mengambil rizki sedikit dengan badan yang lemah dan pada masa yang pendek, mengambil jizyah dan atau ghanimah dan fa'i dari orang orang kafir yang hina. Supaya mereka tidak menyombongkan diri, dan hanya allah saja lah yang berhaq di ibadahi. maka untuk apa lagi kita menunda dan menanti untuk 'amaliyat, sedangkan umur terus bertambah dan kematian tak terhindarkan. semoga allah ta'ala memberi karunia dan rahmat Nya kepada kita... dan 'amaliyat kita diterima sehingga kita tergolong dalam golongan para syuhada.... aamien.

 wallahu ta'ala a'lam

arrahmah.com

KISAH CINTA ADIK KEPADA KAKAKNYA


Sebuah Kisah untuk kita renungkan dan jadikan motivasi.
Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku. Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu ditangannya. "Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!"
Dia mengangkat tongkat bambu itu tinggi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus-menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas.
Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal
memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!" Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.
Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus.
Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik... hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?" Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku. " Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini."
Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimimu uang." Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).
Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana! "Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?" Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga!
Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..." Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu." Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!"
Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan
sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya. "Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..." Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini." Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut.
Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari, adikku di atas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?" Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah, "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!"
"Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29. Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sendoknya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.
Bisakah kita memiliki jiwa besar seperti si adik yang seperti dalam cerita, tapi bagaimanapun, yang namanya Saudara patut kita jaga dan kita hormati, apakah itu seorang adik atau seorang kakak. Karena apa arti hidup kalau tidak bisa membahagiakan sodara dan keluarga kita.